Minggu, 24 Juli 2016

Fakta Sejarah

A.        Latar Belakang
Dalam proses analisa, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan didalam dokumen, lebih daripada dokumen itu sendiri didalam keseluruhannya. Sambil memperhatikan setiap unsur ia bertanya; apakah unsur itu kredibel? Tidak ada salahnya untuk menekankan sekali lagi bahwa apa yang dimaksud jika sesuatu unsur disebut kredibel bukanlah bahwa unsur itu adalah apa yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan bahwa unsur itu paling dekat dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi, sejauh dapat kita ketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada. Dengan perkataan lain sejarawan menetapkan sesuatu sebagai “nampaknya benar” dan bukannya sebagai benar secara obyektif. Meskipun terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya, namun mereka tidak perlu harus identik.

Sabtu, 23 Juli 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1992
TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional;
a. bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya;

Peninggalan Situs Sejarah di Indonesia

A. Periode Prasejarah
            Periode prasejarah merupakan periode dimana belum ditemukannya bukti – bukti tertulis dari zaman itu. dalam periode ini manusia purba yang hidup belumlah mengenal tulisan, oleh karena itu zaman prasejarah sering disebut juga zaman nirleka, nir berarti belum dan lekka yaitu tulisan. Bukti – bukti yang dapat kita ketahui untuk mengenali atau mencoba membayangkan kehidupan masa lampau yaitu dengan ditemukannya situs sangiran. Pada zaman prasejarah ini manusia yang hidup adalah manusia purba berjenis megantropus paleojavanicus. Situs sangiran ditemukan oleh Euoguis. pada tahun 1986. Situs sangiran merupakan situs yang tertua yang ditemukan di Indonesia.

Sejarah Singkat Candi Wisnu

A. Lokasi
            Candi Wisnu merupaan salah satu candi yang berada dikompleks percandian Rara Jonggrang di Prambanan. Kompleks percandian Rara Jonggrang terletak di sebelah timur aliran sungai opak, di dusun Karang Asem, Desa Bokoarjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peninggalan Kebudayaan Hindu di Infonesia

A.        Latar Belakang
Wilayah Indonesiaterdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesiabukan hanya dalam wilayah Indonesiasaja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.

Kamis, 21 Juli 2016

Perkembangan Aliran Struktural

Sejak awal abad ke-20 ilmu sejarah sedang mengalami krisis. Para ahli sejarah merasa tidak puas dengan kemampuan ilmu sejarah untuk menjelaskan berbagai hal yang menyangkut masyarakat modern. Sebaliknya, mereka menyaksikan, bahwa ilmu-ilmu sosial yang juga mempelajari manusia, justru bsnyak berhasil menjelaskan hal-hal yang seharusnya bisa dijelaskan oleh ilmu sejarah. Salah satu masalah besar yang seharusnya bisa dijelaskan oleh ilmu sejarah adalah perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern akibat industrialisasi, dan akibat-akibatnya.

Sejarah Singkat Penulisan Sejarah Massa Ranke

A.                LEOPOLD VON RANKE
Leopold Von Ranke (1795-1886), adalah sejarawan Jerman. Pada awalnya ia mempelajari Filologi dan teologi yang sebagian besar mengenai Al Kitab. Ia kagum akan tulisan Fichte yaitu Adresses to the German Nation. Setelah mendapat gelar Doctor (1818), ia mengajar kesusasteraan Yunani dan Romawi di sebuah gymnasium di Frankfurt am Order. Leopold Von Ranke juga mengajarkan tentang Horatius, Homerus dan Vergilius, ia mengadakan studi yang sistematis tentang sejarah klasik Yunani dan Romawi Kuno. Leopold Von Ranke tertarik pada riset historis yang orisinal. Membaca roman-roman dari Walter Scott, ía terkesan oleh penulisan yang baik, tetapi ia kesal terhadap kesalahan historis. Ranke sangat menghargai fakta dan ingin adanya ketelitian.

Perkembangan Aliran Strukturis

Sejak tahun 1970-an mulai disadari bahwa krisis dalam ilmu sejarah sesungguhnya bukan sekedar teknis saja yang dapat diatasi dengan merangkul ilmu-lirnu sosial. Epistemologi realis sebagai reaksi atas epistemologi idealis telah melahirkan suatu metodologi ilmu sejarah baru yang merupakan perkembangan lebih lanjut baik dari Postmodernisme maupun strukturalisme. Bahkan dapat dikatakan, bahwa metodologi baru yang dinamakan pendekatan strukturis itu, mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam metodologi struktural maupun metodologi individualis. Metodologi individualis(termasuk postinodernisme) temyata tidak sanggup menjelaskan perubahan sosial dengan baik, sedangkan pendekatan struktural malah bersifat determinis dan mengabaikan individu sebagai penggerak sejarah seperti terkandung dalam wawasan sejarah yang asli.

Biografi Otto of Freising

A.                Pendahuluan

            Otto of Freising merupakan "ahli filsafat sejarah yang kebanyakan karya sejarahnya” dipengaruhi Sosok sejarawan Augustinus yang terkenal dengan karya kolosal tentang filsafat sejarah Kristen, The City of God sangat mempengaruhi  pandangan dan pemikiran Otto terhadap penulisan sejarah, khususnya dalam filsafat sejarah. Ini dapat kita lihat dalam dua karya besarnya, yakni The Deeds of Emmperor Frederick I (1156-1158) dan Chronicle or History of the Two Cities (1143-1147) pada zaman Kristen Awal yang juga Zaman Pertengahan.


Historiografi Zaman Romantik

Abad ke 19 juga dikenal sebagai zaman Romantik. Pada zaman ini adalah pertarungan keras demi objektifitas akal budi telah dirusak melalui pemujaan modern terhadap nafsu dan kegeniusan’ Munculnya Romantisisme ditandai dengan adanya hukum adat di Jerman, munculnya kebudayaan di lnggris dan Jerman.

Penulisan Sejarah Abad 18

Abad ke-18 dikenal sebagai abad Rasionalisme dan Sekularisme. Rasionalisme ditandai dengan adanya tuntutan manusia untuk berfikir menggunakan logika, kritis, skeptisis dan juga realistis., sedangkan sekularisme muncul karena adanya ketidak percayaan terhadap dogma agama yang selama abad pertengahan peran agama tidak memberi kontribusi nyata bagi kehidupan manusia, sehingga muncul pemikiran sekuler yang lebih menitikberatkan pada kehidupan duniawi. Abad ke-18 juga dikenal sebagai Masa Aufklarung yang berarti pencerahan. Kepercayaan akan rasio pada abad ke-18 sangat dimajukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, misalnya Issac Newton telah mendasarkan fisika klasik dengan bukunya Philosophiae naturalis principia mathematica <Ilmu Pengetahuan Alam berdasarkan prinsip matematisnya> dan juga lahirnya ensiklopedi sebagai usaha untuk mengumpulkan segala pengetahuan secara sistematis.

Rabu, 20 Juli 2016

Atonisme: Kepercayaan Mesir Kuno

Atonisme adalah sebuah kepercayaan bangsa Mesir Kuno kepada dewa Aton, yang berkembang pada masa pemerintahan Amonhotep III dan diteruskan serta dikembangkan oleh Amonhotep IV. Kepercayaan ini muncul sebagai akibat dari politik imperialisme yang berkembang pada masa itu, yakni pada masa kejayaan Mesir Kuno dibawah Amonhotep III. Imperialisme ini menyebabkan banyak orang-oramg asing yang masuk dan membawa kepercayaan / agama baru. Selain itu terjadi hubungan yang tidak harmonis antara penguasa dengan para pendeta dewa Amon, hubungan yang tidak harmonis itu timbul karena para pendeta dewa Amon ikut campur dalam pemerintahan dan bukan dalam bidangnya.

Pemerintahan Majapahit dan Singasari

1.              SUSUNAN PEMERINTAHAN MAJAPAHIT
Yang dimaksud dengan susunan pemenntahan Majapahit ialah susunan pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk alias Rajasanagara. Pada hakekatnya yang dapat diketahui tentang susunan pemerintahan hanya susunan pemerintahan Hayam Wuruk. Oleh karena itu yang akan diteliti juga hanya susunan pemerintahan tersebut. Tentang susunan pemerintahan Majapahit pada jaman lain tidak dibicarakan disini. Bentuknya seperti berikut:

Selasa, 19 Juli 2016

Sejarah Singkat Negarakretagama

1.      Isi Negarakretagama, banyaknya pupuh dan tafsir sejarahnya.
Kitab Negarakretagama ditulis oleh seorang yang bernama mpu Prapanca. Pada mulanya kitab ini bernama Desawarnana yang berarti uraian tentang desa-desa. Puja sastra Nagarakretagama terdiri dan 98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh itu dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh I sampai pupuh VII menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh VIII sampai XVI menguraikan kotadan wilayah Majapahit. Pupuh XVII sampai XXXIX menguraikan perjalanan keliling ke Lumayang. Pupuh XL sampai XLIX menguraikan silsilah raja Hayam Wuruk. Lima pupuh yang pertama yakni pupuh XL sampai XLIV tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh XLV sampal XLIX tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Tepat pada pupuh itu uraian Dang Acarya Ratnamsa berhenti. Itulah bagian pertama Nagarakretagama, jumlahnya 49 pupuh tepat.

Zaman Prasejarah

Ilmu prasejarah mempersoalkan bagian dari sejarah peradaban manusia dan lamanya zaman prasejarah itu berlangsung meskipun berbeda satu sama lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara mempelajari peninggalan manusia prasejarah yang berupa benda-benda buatan mercka. Dari benda-benda peninggalan térsehut dapat diketahui bahwa mereka mengunakan alat-alat tersebut untuk mempertahankan diri dari serangan binatang buas. Pada mulanya mereka memanfaatkan hasil  alam yang ada. Ada dua paham yang berkaitan dengan asal usul terjadinya manusia. Pertama, Materialistis berpandangan bahwa terjadinya manusia itu sebagai suatu perkembangan proses-proses hewani yang berkaitan dengan alam rohaninya yang tidak terpisah dari proses pertumhuhan atau proses evolusi. Kedua, paham Dualisme yang berpandangan bahwa jiwa manusia mempunyai tempatnya sendiri dan tidak berhubungan alam hewan.

Senin, 18 Juli 2016

Martin Luther dan Awal Reformasi Gereja

                Penjualan surat aflat dengan salah seorang penjajanya yang berbakat telah melahirkan 95 dalil yang berusaha membenahi berbagai penyelewengan gereja selama ini. Sayangnya himbauan ini ditanggapi secara negatif hingga segalanya sulit diselesaikan sebagaimana mestinya.

Biografi Singkat Martin Luther

A.      Keluarga.
Hans Luther pindah dari Mohra ke Eisleben, Thuringian Saxony. Di tempat inilah Margareth melahirkan Martin Luther pada 10 Nopember 1483. Oleh Hans, ayahnya, di pagi yang dinigin dan bias jadi hujan, Luther dibawa ke gereja St. Peter untuk dibaptis. Hans adalah seorang petani yang jenuh dengan tugasnya, karena hidupnya tidak banyak berubah kecuali makin bertambah rawan. Tiada berapa lama Hans pindah ke Mansfeld dan bekerja di tambang perunggu. Secara bertahap hidupnya makin bertambah makmur hingga bisa menyewa beberapa pendiangan serta berhasil menjadi councillor pada 1491.

Minggu, 17 Juli 2016

Perancis di Indocina

A.        Latar belakang dan situasi menjelang pertempuran
Pada tahun 1953, Prancis keteteran dalam Perang Indochina Pertama. Serangkaian panglima perang (Thierry d'Argenlieu, Jean de Lattre de Tassigny, dan Raoul Salan) terbukti tidak mampu menekan pemberontakan Viet Minh. Dalam pertempuran-pertempuran mereka pada 1952-1953, Viet Minh telah mengalahkan kekuatan koloni Prancis di Laos, tetangga Vietnam di sebelah barat. Prancis terbukti tidak mampu menahan lajunya Viet Minh, yang segera mundur apabila kehabisan dukungan pasokan mereka yang gigih.

Sejarah Singkat Kehidupan Masyarakat Asia Tenggara

Masyarakat Asia Tenggara dalam kehidupan ekonominya bertumpu pada pertanian dan juga perdagangan yang sudah lama berkembang di kawasan ini. Asia Tenggara pada kurun niaganya merupakan daerah yang jarang penduduknya. Sebagian besar penduduknya terpencar dalam kantong-kantong persawahan yang intensif dan di kota-kota pelabuhan niaga yang relatif penduduknya lebih besar.

Paradigma Pancasila

  • Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial-Budaya
Budaya selamanya berarti sosio-budaya, sehingga perubahannya juga selalu berupa perubahan sosio-budaya. Dalam kehidupan sosial-budaya era globalisasi menuntut para warga untuk mampu mempertahankan integritas masyarakatnya masing-masing melalui :
1.      Pengembangan kehidupan yang bermakna.
2.      Kemampuan untuk memuliakan kehidupan itu sendiri.

Sabtu, 16 Juli 2016

Sejarah Singkat: Pengertian dan Sejarah Hak Cipta

·                Latar Belakang
Hak cipta adalah hak eksklusif (yang diberikan oleh pemerintah) untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

Sejarah Singkat : Akulturasi dalam Sistem Religi Suku Minahasa

·           Latar Belakang
Orang Minahasa adalah suatu suku-bangsa yang mendiami suatu wilayah pada bagian timur laut jazirah Sulawesi Utara yang luasnya sekitar 5273 km2. Dalam ucapan sehari-hari orang Minahasa menyebutkan diri mereka orang Manado. Tetangga-tetangga mereka di sebelah utara adalah orang Sangir Talaud, dan di sebelah selatan orang Bolaang-Mongondow.

Sejarah Singkat Hikayat Melayu

Seperti telah kita ketahui, Sejarah Melayu (selanjutnya disingkat S. M.) meriwayatkan kerajaan Malaka dan dituliskan di Batusawar di negeri Johor pada tahun 1615. Berlainan dengan pusat negeri Mataram yang terletak di pedalaman, sebagai pusat negeri yang agraris, negeri Malaka terletak di jalan persimpangan lalu - lintas yang ramai, yaitu antara Asia Timur dengan Asia Barat dan Eropa. Melalui jalan-laut raja itu masuklah pula berbagai unsur kebudayaan asing ke Indonesia. Sebagai tempat yang sangat strategis menyadi perebutan antara kekuasaan  laut, sehingga daerah-daerah itu banyak dan cepat mengalami perubahan, peperangan, krisis politik, revolusi, usurpasi memenuhi sejarah negeri-negeri didaerah itu.

Kamis, 14 Juli 2016

Sejarah Singkat: Perkembangan Aliran Struktural


Sejak awal abad ke-20 Ilmu sejarah sedang mengalami krisis. Para ahli sejarah merasa tidak puas dengan kemampuan ilmu sejarah untuk menjelaskan berbagai hal yang menyangkut masyarakat modern. Sebaliknya, mereka menyaksikan, bahwa ilmu-ilmu sosial yang juga mempelajari manusia, justru banyak berhasil menjelaskan hal-hal yang seharusnya bisa dijelaskan oleh ilmu sejarah. Salah satu masalah besar yang seharusnya bisa dijelaskan oleh ilmu sejarah adalah perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern akibat industrialisasi, dan akibat-akibatnya.

Penulisan Sejarah Masa Kolonial

Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.

Rabu, 13 Juli 2016

Sejarah Singkat Penulisan Sejarah di Indonesia

Dengan tercapainya kemerdekaan serta terbentuknya negara nasional timbul keperluan untuk menulis sejarah Indonesia sebagai sejarah nasional, dewasa ini setelah mengalami alam kemerdekaan selama tiga puluh tahun, kita menginjak tahap dalam pengembangan historiografi Indonesia di mana usaha penulisan kembali sejarah Indonesia perlu disebarkan dengan berbagai cakrawala:
1)      Cakrawala religio-magis serta kosmogonis: seperti tercermin dalam Babad atau Sejarah/Hikayat telah ditinggalkan dan diganti dengan Cakrawala empiris-ilmiah. Sejarah kritis telah menyediakan alat-alat metodologis yang secara ilmiah akan mengungkapkan fakta-fakta dan sumber-sumber sejarah.
2)      Cakrawala natiocentris yang menggantikan ethnocentrisme, maka Sejarah Indonesiamerupakan kesatuan yang berbataskan kesatuan politik-geografis wilayah Indonesia.
3)      Cakrawala kolonial-elitis yang diganti dengan sejarah bangsa Indonesiasecara keseluruhan dengan mencakup berbagai lapisan sosialnya. Tercakup di dalam pandangan baru ini ialah dialihkannya pemusatan perhatian pada peranan raja-raja serta menteri dan hulubalangnya, juga dari peranan para penguasa kolonial[1].

Perubahan-perubahan pandangan itu mendapatkan konvergensi pada usaha penulisan kembali sejarah Indonesia. Proses perubahan yang telah berlangsung sejak awal  tahun lima puluhan. Di sini arah historicism yang berusaha menempatkan kejadian-kejadian dalam konteks sejarah di mana peristiwa-peristiwa itu terjadi berdampingan dengan kecenderungan untuk penulisan sejarah secara neoscientific, ialah yang berusaha menguraikan struktur-stniktur yang menjadi kerangka bagi proses sejarah.
Dalam penyusunan historiografi Indonesiagenerasi sejarahwan dewasa ini dihadapkan dengan perubahan sosial baik yang bergerak dengan langkah yang sangat cepat membuka pandangan-pandangan baru bagi sejarahwan. Pada satu fihak kesadaran akan historisitas benda-benda mengutarakan soal kapan, dimana dan apa yang terjadi.
Rekonstruksi sejarah sebagai cerita dengan menggunakan kejadian aksi manusia serta dramatis personae, kesemuanya terjalin dalam rangkaian yang menonjolkan keunikan kejadian-kejadian. Di samping metode naratif maka muncullah sebagai pengaruh\pelbagai kecenderungan metoda developmentalisme, yang akan melihat pola-pola perkembangan, kelangsungan serta perubahan-perubahan.
Untuk menerangkan keadaan masyarakat dewasa ini tidak ditinggalkan pengungkapan perkembangan historis dari pelbagai unsur masyarakat itu. Tanpa mengurangi sejarah naratif, dan historiografi yang terarah kepada kejadian-kejadian yang unique, rekonstruksi dari sejarah Indonesia perlu memperhatikan aspek-aspek perkembangan.
Apabila ilmu/dan penulisan sejarah ingin tetap berfungsi sebagal disiplin dari pengungkapan atau penemuan manusia maka perlu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial yang telah berhasil menambah perbendaharaan pengetahuan tentang manusia. Terutama dalam masa perubahan-perubahan besar ilmu-ilmu sosial yang hanya mempelajari masa kini secara sinkronis memerlukan bantuan pengetahuan sejarah yang sinkronis sehingga kita lebih mampu mengetahui tentang kecenderungan-kecenderungan yang bergerak dalam masyarakat sehingga akhirnya dapat menunjukkan ke arah mana masyarakat kita akan berkembang. Apabila ilmu sejarah tidak ingin sama sekali didesak oleh ilmu-ilmu sosial, maka perlu diperbaiki alat-alat penelitiaannya terutama metodologinya. Pada jaman Ranke heuristik dikembangkan untuk secara kritis dapat mengolah data dari sumber-sumber sejarah. Kini agar dapat mengungkapkan pelbagai dimensi dari tingkah laku manusia serta masyarakat di masa lampau, alat-alat analitisnya perlu disempurnakan dengan “meminjam” konsep serta teori dari ilmu-ilmu sosial.

Sejarah Singkat Seminar Nasional Indonesia 1957

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah NasionaI Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Sementara itu, kurun historiografi tradisional dapat dianggap berakhir dengan ditulisnya buku Beschouwing van de Sadjarah van Banten o1eh Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913. Buku ini dengan cara kritis mengkaji tradisi penulisan babad dalam khasanah sastra. Namun, pertanyaan mendasar tentang historiografi Indonesia modem barulah untuk pertama kali muncul dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama itu. Agenda seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, perodiosasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah.
Perdebatan yang berkelanjutan sampai tahun 1970 ialah, pertama. pertanyaan tentang Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme bagaimana meletakkan tekanan pada peranan sejarah orang Indonesiadalam sejarah Indonesia. Kepustakaan sejarah yang ada pada waktu itu lebih banyak menekankan Peranan orang Eropa, dan melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Pertanyaan kedua ialah tentang objektivitas dan Subjektivitas dalam historiografi suatu perluasan dari pertanyaan pertama.
Banyak perubahan telah terjadi pada tahun-tahun setelah 1970, tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana sejarah seharusnya ditulis tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam Perkembangan kelembagaan ideologi, dan subtansi sejarah. Bab ini akan mencoba melihat perkembangan Pelembagaannya yaitu bagaimana kepustakaan sejarah itu diproduksikan semacam sosiologi historiografi” Masalah lain, ideologi dan substansi akan disinggung dalam konteks kelembagaan.
Sungguh, sejak adanya Seminar Sejarah Nasional Kedua pada 1970, beberapa perkembangan barulah tampak. Sekalipun Seminar itu masih juga bekerja keras untuk menuntaskan isu-isu awal yang dikerjakan secara deskriptif semata, beberapa makalah sudah menunjukkan minat yang besar pada pendekatan ilmu sosia! dan analitik. Dengan memakai teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadian-kejadian sejarah. Sejak Seminar ini sebuah panitia dibentuk untuk memulai penulisan buku standar sejarah Indonesia. Buku standar itu bukan saja akan membawa ketegasan yang Indonesiasentris tetapi juga membawa kemajuan yang dicapai dalam Seminar Sejarah Nasional Kedua dengan cita-cita sejarah struktural dan analitik. Hasil yang dicapai ialah buku edisi pertama Sejarah Nasional Indonesia yang berjumah enam jilid, yang tidak saja menekankan kronologi, proses, tetapi juga sejarah yang sinkronik-struktural. Sekalipun buku itu tidak sesempurna sebagaimana diharapkan, karena banyaknya kendala, pekerjaan itu tetap terpuji sebagai satu-satunva buku yang lengkap dan komprehensif. Buku itu kemudian juga diringkaskan isinya untuk keperluan pengajaran di sekoah-sekolah menengah. Sekarang buku itu sudah mengalami cetak ulang dan edisi yang baru.
Jika Seminar Sejarah Nasiona Kedua menjawab tantangan Seminar Sejarah Nasional Pertama, maka Seminar Sejarah Nasional Ketiga di Jakarta tahun 1981 menjawab tantangan ke arah sejarah dengan pendekatan ilmu sosial sebagaimana dijanjikan dalam Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta. Seminar Ketiga ini dengan jelas menunjukkan bahwa sejarawan Indonesia sudah sungguh sadar tentang perlnya kesadaran teoretik dan metodologis dalam penulisan. Bukan saja banyak sejarawan yang berani menggugat periode keramat seperti Revolusi Kemerdekaan, tetapi mereka maju dengan tujuan sejarah interdisipliner. Sejarah revolusi. misalnya, bukan lagi semata-mata sejarah kepahlawanan dan kejadian besar, tetapi juga studi tentang kelas sosial, konflik sosial, bahkan tentang perbanditan.

Sejarah Singkat: Historiografi Pada Masa Revolusi

Dalam masa sepuluh tahun setelah munculnya pergerakan nasional di Indonesia, telah muncul pula banyak karangan tentang pergerakan dari beberapa segi perkembangan di dalam masyarakat Indonesia. Parapenulis yang berasal dari kalangan pejabat pernerintah, guru, dokter, wartawan dan politikus. Pada umumnya mereka adalah lulusan sekolah-sekolah sebagai hasil rencana pemerintah jajahan dalam rangka pelaksanaan politik etika. Namun tanda-tanda pembaharuan juga telah mulai nampak pada para ulama, yang tidak berasal dari sekolah resmi. Usaha para ulama juga menarik sebagian hasil lulusan sekolah resmi untuk mengaitkan usaha mereka dengan pergerakan nasional seperti pada Partai Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Jong Islamite Bond, dan Persatuan Islam. Karya-karya yang dapat dianggap sebagai bentuk penulisan sejarah tersebar di suratkabar, majalah, penerbitan partai politik.
Setelah tahun dua puluhan muncul penulis-penulis dari kalangan Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional, Partai Komunis Indonesia, PSII dan banyak penulis yang telah mendapatkan pendidikan universitas dalam bidang ilmu-ilmu sosial, yang waktu itu terbatas pada ilmu hukum dan ekonomi.
Kemudian, setelah Indonesia Merdeka sebagai hasil perjuangan politik dan bersenjata, terdapat banyak sekali penulisan sejarah bercorak pewarisan. Ciri-cirinya yang utama dalam penulisan jenis ini ialah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya jenis ini ialah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang hambatan hambatan serta menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Yang paling baik dan mendekati keseimbangan uraian berdasar penilaian sejarah ialah yang tercakup dalam sebelas jilid Sekitar Perang Kemerdekaan, karya A.H. Nasution (1977-8).
Seperti telah disebut di atas, maka kini muncullah jenis penulisan sejarah bercorak akademis, yang ciri utamanya ialah tidak bersifat ideologis ataupun filosofis. Penulisan sejarah macam ini mencoba untuk memberi gambaran yang jelas mengenai masa silam yang sesuai dengan tradisi akademis, yang beberapa judulnya telah diberikan di atas. Kisah-kisah sejarah tidaklah merupakan bagian semata-mata dalam jenis sejarah ini, tetapi cendenrung ke arah analisa struktural dengan pendekatan pengungkapan segi-segi pengaruh kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Sumbernya yang utama sudah barang tentu ialah arsip dan dokumen primer.
Lalu apakah hubungannya historiografi atau seluruh pengalaman penulisan sejarah Indonesiadengan pembinaan bangsa? Kalau karya sejarah berhasil menyusun dengan sebaik mangkin pasang surut kegiatan bangsa, maju mundur karya budayanya, timbul tenggelam pranata-pranatanya, unggul kalah dalam perjuangan, dalam suatu irama sejarah Indonesia yang dapat menggambarkan suka duka, kegemilangan dan kesuraman, kepahlawanan, kewibawaan serta kekerdilan jiwa para tokoh, maka hubungan antara historiografi dan pembinaan bangsa adalah akrab.

Namun persyaratan yang sulit dipenuhi oleh para penulis sejarah ialah seberapa jauh ia mahir dengan gaya tulisannya, adil dalam pertimbangannya, jujur terhadap tokoh yang diuraikannya dan mempertaruhkan karyanya sebagai karya budaya.

Tradisi Lisan dan Tradisi Tulis

Historiografi dalam arti luas merupakan sejarah penulisan sejarah yang berisi aktivitas manusia dan peradaban pada masa lampau yang didalamnya terdapat sesuatu yang berkesinambungan, kausalitas dan perubahan yang didalamnya terdapat teori dan metodologi yang isinya mempunyai kesatuan yang utuh. Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Penulisan sejarah zaman dahulu atau historiografi tradisional pada zaman dahulu dilakukan oleh para pujangga. Walau belum mengetahui secara pasti apa fungsi penulisan sejarah, tapi penulisan sejarah banyak dilakukan. Penulisan tersebut dilakukan atas dasar keinginan sendiri atau atas dasar permintaan seorang raja.

  • Tradisi lisan
Sebelum sejarah ditulis oleh para pujangga pada zaman dahulu, sejarah sudah disampaikan melalui cerita. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan, belum ada bahasa sansekerta dan tulisan jawa. Kemudian melalui proses yang sangat panjang tradisi kecil tersebut berkembang menjadi tradisi besar, tentu saja seiring dengan ada dan berkembangnya tulisan, bahasa sansekerta dan bahasa jawa; Penulisan sejarah yang ada sebagian besar ditemukan di istana, maka penulisan sejarah pada zaman dahulu bersifat istana sentris.

  • Tradisi tulisan
Tradisi besar atau tradisi tulisan yaitu penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi tulisan tentu saja ada setelah manusia mengenal tulisan. Tulisan yang menjadi sasaran penulis dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Tulisan yang berupa naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat di dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup masyarakat pendukungnya. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan, tetapi dapat pula tulisan cetakan.
Tulisan atau Naskah-naskah kuno yang tersimpan di museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, maupun yang tersimpan pada anggota masyarakat di seluruh pelosok tanah air, merupakan warisan nenek moyang bangsa yang sangat berharga, karena pada naskah-naskah kuno itulah terkandung informasi tentang keadaan, gambaran, sikap, pandangan, dan cita-cita mereka semasa hidupnya. Saat ini bagi anak-cucunya, karya mereka jelas merupakan dasar budaya bangsa Indonesia, Naskah kuno di Indonesia bersisikan berbagai ragam, mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan tiap-tiap daerah dan sebagai keseluruhan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya. Umumnya naskah-naskah kuno itu ditulis dalam bahasa daerah dan menggunakan aksara daerah. Oleh sebab itu, para penulis dalam hal ini adalah pujangga, pujangga Nusantara memang harus menguasai bahasa dan aksara daerah Nusantara.

Penulisan sejarah yang dilakukan pujangga-pujangga pada zaman dulu bertugas menjelaskan, menceritakan dan menulis untuk kepentingan sejarah dan menghadirkan kewenangan seorang raja, sehingga disusun lebih lengkap dan bermakna dan segi konsep keagamaan. Oleh karenanya, teks yang dibuat lebih cenderung bernuansa simbolik yang diragukan faktanya.

Selasa, 12 Juli 2016

Historiografi Masa Kolonial

Banyak fakta-fatka sejarah yang hingga kini masih tersembunyi, setelah proses dekolonisasi terjadi. Indonesianisasi merupakan bagian penting dalam historiografi Indonesiayang masih perlu digali lebih mendalam.
Tapi bagaimanakah cara menginterpretasi suatu fakta, agar ia punya makna? Untuk itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu yang paling andal dalam studi sejarah. Sebab, betapapun historlografi Indonesiamerupakan bagian penting dari proyek luhur pembangunan negara-bangsa yang masih muda dan cermin untuk menegaskan suatu identitas kebangsaan (“sebab sebuah bangsa tanpa identitas adalah contradictio in terminis,”Sartono), sejarah terlalu penting untuk dijadikan ajang pemuasan hasrat romantis dan gelora nasionalisme yang, cepat atau lambat, akan terasa kianjauh dan realitas.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial ini mengandung sejumlah ciri. Pertama, ia bertujuan nasional dan Indonesiasentris dalam perspektifnya, sebagai lawan dari historiografi kolonial yang memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-tempat yang kemudian menjadi bagian dari Indonesiasebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Kedua, ia bersifat multi-dimensional dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dijelaskan sebagai hasil/akibat dari saling-pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama dan lain-lain. Ketiga, ia bersifat multi- atau inter-disipliner dalam pendekatannya; teori-teori dan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial sengaja diterapkan untuk meneguhkan penjelasan sejarah. Keempat, ía dengan ketat tunduk pada metodologi sejarah yang standar dan ilmiah.

Indonesia secara umum memiliki potensi arkeologi terutama dari masa kedatangan dan perkembangan Islam dan masa kolonial bangsa asing di Nusantara. Penelitian-penelitian arkeologi dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Penelitian yang lebih intensif pada bidang kolonial terjadi pada tahun 1986, yang dilakukan peneliti dari Amerika Serikat, John M. Miksic yang mengadakan survei dan ekskavasi di situs Fort York. Penelitian ini berhasil mengumpulkan dan mengidentifikasi temuan mata uang dafi East Indian Company (EIC) Vereneeging Oost de Company (VOC) dan Cina serta keramik dari Cina abad XVII-XIX M, keramik Eropa buatan Gouda Delft dan beberapa gerabah lokal yang menunjukkan persamaan dengan gerabah yang ditemukan di Banten.

Dampak dekolonisasi memberikan perubahan besar dalam relasi-relasi kehidupan masyarakat Indonesia, terhadap negara-negara bekas dan negara-negara lain yang juga mempunyai kepentingan hampir sama. Sejarah mencatat bahwa setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami masa-masa sulit, terutama secara ekonomi, untuk mencapai identitas sebagai negara yang berdaulat. Indonesianisasi ekonomi merupakan suatu proses untuk mencapai kemerdekaan ekonomi, yang ditandai dengan lahirnya pengusaha-pengusaha pribumi dan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tangan kaum pribumi (nasional).

Imperialisme dan kolonialisme seolah-olah adalah nafsu untuk mengalahkan atau menguasai penguasa lain demi merebut keuntungan sosial politik dan lainnya. Ujung penguasaan sosial politik ini adalah dominasi penguasa kolonial terhadap penguasa bumiputra yang notabene mencari keuntungan finansial. Perebutan kekuasaan ini masih berlangsung sampai awal abad ke-21.


Sebelum masuknya pendidikan , bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang terdidik. Hal tersebut terbukti dengan tumbuh suburnya pendidikan yang bersifat tradisional dan tersebar di seluruh nusantara, yang ditandai dengan berkembangnya penggunaan huruf lontar dan tradisi mengaji. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisional tersebut. Namun demikian, pendidikan tradisional mengalami pergeseran ke pendidikan khususnya ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan pegawai-pegawai administrasi rendahan untuk mengisi pos-pos pemerintahannya. Oleh karena itu, sistem yang diterapkannya tidak lepas dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahakan kekuasaan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pendidikan tersebut menjadi alat untuk memantapkan hegemoninya, dan melahirkan elit-elit baru yang nasionalis serta menjadi bumerang bagi kekuasaannya. Bertitik tolak dari hal tersebut, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan segi-segi yang berkaitan dengan pergeseran dua corak pendidikan itu di Makasar.

Unsur-unsur Historiografi Tradisional

Selain kita mengenal sejarah tradisi lisan kita juga mengenal tradisi tertulis yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra (prosa/puisi) dan ditulis dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia, misalnya Babad tanah Jawa dan Hikayat Melayu. Unsur - unsur dalam historiografi tradisional adalali mitologi, legenda, hugiografi, simbolisma dan sugesti.
1.      Mitologi
Mitologi dihubungkan dengan dewa - dewa, bidadari, tokoh - tokoh wayang dan nabi - nabi. Pada naskah - naskah yang disebut court cronicle (silsilah raja - raja) atau disebut pula babad, kronik, tambo,
silsilah, hikayat yang semuanya merupakan uraian mite tentang asal usul raja - raja atau penguasa yang berawal dan tokoh laki - laki dan wanita yang kemudian menjadi nenek moyang secara mistis. Dari gambaran tersebut dimaksudkan untuk mengagung - agungkan raja agar memperoleh legitimasi.
Seorang raja yang tidak jelas asal usulnya akan menimbulkan kekacauan karena masyarakat masih menggunakan acuan yang berbau mistis, legendaris, kalau seorang raja tidak memilikinya maka akan sulit diterima masyarakat. Dengan demikian seorang raja harus memiliki penggambaran magis untuk memperkuat kedudukannya.
2.      Legenda
Berkaitan erat dengan unsur air, tanah, tumbuh - tumbuhan, api dan udara. Sebagai contoh rajakula yang merupakan asal usul yang aneh dan ajaib, riwayat rajakula dihubungkan dengan awal kehidupan manusia di dunia ini.
Maka penghuni surga dianggap sebagai nenek moyang raja - raja sehingga mereka memperoleh martabat serta kebangsawananya.
3.      Hugiografi
Dalam hal ini melukiskan kemukjizatan seorang tokoh yang dengan kesaktiannya menciptakan sesuatu yang luar biasa. Dalam penulisan historiografi tradisional ini masih banyak dipengaruhi oleh magis yang berpengaruh di alam, baik makhluk hidup atau benda - benda mati Kepercayaan tentang perbuatan magis atau sihir yang dilakukan oleh tokoh - tokoh tertentu, misalnya kehebatan sihir Mpu Bharada yang digambarkan dalam perjalanannya dari daerah Wurare ke Bali hanya dengan menggunakan selembar daun kluwih.
4.      Simbolisme
Yaitu berupa lambang misalnya cahaya berkilat di angkasa, benda pusaka keramat atau kata - kata kiasan. Sebagai contoh adanya anggapan bahwa pakaian seorang raja yang digunakan mengandung kesaktian seperti kesaktian sang raja sendiri.
5.      Sugesti
Berupa ramalan - ramalan, firasat suara gaib, takbir mimpi.
6.      Geneaologi
Semua historigrafi tradisional separti babad, hikayat atau kronik memuat genealogi bahkan umumnya di mulai dengan genealogi. Dalam genealogi dapat dibedakan menjadi tiga bagian:
·         Nenek moyang yang pertama
·         Keturunan yang terakhir
·         Rentetan orang-orang antara 1 dan 2
7.      Asal usul radjakula
Dalam suatu historiografi yang dikuasai oleh ide asal usul yang ajaib tentang radjakula.


DAFTAR PUSTAKA
I Gde Widja.. Sejarah Lokal Suatu Persepektif Dalam Pengajaran Sejarah, Jakarta. Depdikbud. 1989.

Sastra Melayu

Tiap masyarakat, tiap kebudayaan tidak mengenal bahsaa, tetapi dalam salah satu bentuk juga sastra. Sastra Melayu adalah suatu sastra dari bangsa melayu yang bersifat sejarah, sebagai sastra sejarah dia mempunyai fungsi dan arti yang harus kita ketahui pertama - tama adalah bahwa sejarah melayu bukanlah karangan sejarah dalam arti yang dipakai oleh orang abad ke 20 ini hal ini dikemukakan oleh Teuuw. Sejarah melayu tidak memberkan pelukisan sejarah secara tepat dengan angka - angka penanggalan, demikian juga kejadian atau fakta sejarah hanya sedikit sekali diungkap kebenarannya. Menurut Teuuw sejarah melayu tidak banyak manfaatnya, tetapi sejarah atau sastra melayu adalah sumber yang kaya untuk menggali pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat Indonesialama seperti masyarakat melayu. Dari sastra melayu inilah banyak kita pelajari tetang hubungan - hubungan dalam masyarakat, tetang perkembangan pemikiran keadaan ekonomi dan susunan lembaga - lembaga agama.
Sastra melayu disebut sebagai Primeval Covenant yang dikemukakan oleh W. P Gerritsen atau sebagai Primeval Convenant menurut Josseline De Jong yaitu kontrak antara penguasa dengan rakyatnya, antara tuan dan hamba. Misalnya antara Sri Tribuana dengan Demang Lebar Daun. Primeval Covenant atau perjanjian awal bagi orang melayu merupakan simbol sumpah setia antara seorang raja melayu yang memerintah dengan rakvat melayu yang diperintah. Peristiwa ini sebenarnya bagi orang melayu mempunyai pengertian dan implikasi politik yang besar dikalangan yang berkuasa dan rakyatnya.
Sastra melayu merupakan suatu bentuk karya sastra yang ditulis berdasarkan mitos, legenda dan dongeng - dongeng yang berkembang di masyarakat mengenai kejadian atau peristiwa tertentu. Seperti yang terdapat dalam unsur - unsur historiografi tradisional yaitu memuat genealogi, asal usul rajakultus, simbolisme, hagiografi, dan sugesti.
Sastra melayu pada umunya terdiri atas dua bagian hal ini dikemukakan oleh Roolvink. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng yang menceritakan keadaan dahulu kala, asal mula raja - raja yang memerintah dalam negeri, permulaan berlakunya adat istiadat dan sebagainya. Bagian kedua adalah bagian yang mengadung aspek sejarah, pada zaman penulis sastra itu hidup. 2 Pembagian tersebut dianggap wajar karena pada bagian pertama mengandung konvensi, yang mengantarkan pembaca kepada tradisi sastra yang sudah dikenalnya, sedang bagian kedua mengandung inovasi yaitu mengandung hal - hal yang baru merupakan ciri khas suatu teks yang membedakannya dari teks - teks lain yang sejenis. Konvensi dan inovasi merupakan tolok ukur keberhasilan suatu karya rekaan.
Sastra melayu berkembang dalam lingkungan istana dan ditulis untuk kepentingan raja, dinasti, dan kerajaan, maka bagian pertamanya memuat cerita-cerita yang mengangung-agungkan kemegahan raja yang memerintah sampai kepada nenek moyangnya. Dalam bagian kedua yang bersifat historis, cerita-cerita yang menunjukkan martabat raja yang memerintah diringkas berhubungan dengan martabat raja itu berarti hidup matinya di penulis, karena itu pembuatan tersebut wajar.
Maksud dan tujuan penulisan karya sastra sejarah adalah :
  1. Untuk mencatat segala peristiwa.
  2. Untuk mencatat segala peraturan raja-raja Melayu.
  3. Untuk mencatat adat istiadat bangsa Melayu.
  4. Agar cerita tersebut sampai kepada anak cucu.
  5. Agar anak cucu dapat belajar dari peristiwa pada masa nenek moyangnya.
Sastra melayu merupakan contoh dari bentuk historiografi tradisional yang berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sastra melayu berkembang dengan baik serta mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Indonesiabagian barat terutama Sumatra. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia berasal dan rumpun melayu, sehingga sastra melayu tersebar tidak hanya di Indonesia bagian barat (Sumatra) tetapi juga berkembang di wilayah lain di Indonesia, misalnya hikayat Raja Banjar dan hikayat Kotaringin yang terdapat di Kalimantan merupakan bukti bahwa sastra melayu berkembang sampai di Indonesia bagian Tengah.
Selain itu jika kita menelaah silsilah raja-raja mataram maka kita akan menemukan beberapa tokoh mitologi dari mitologi melayu yang merupakan salah satu unsur pokok sastra melayu yaitu tentang perkawinan dengan bidadari, misalnya Kandiawan dan Nawangwulan.
Sumber sejarah adalah bahan - bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lalu yang  dialami oleh manusia pada masa itu dan meninggalkan jejak - jejak peninggalan dan bukti - bukti yang menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam sumber sejarah ada yang disebut sebagai sumber sejarah titik langsung atau sumber sejarah cerita juga disebut tradisi dari terbagi atas: tradisi yang berwujud rupa, tulisan dan lisan. Tradisi rupa terdiri dari cerita naluri yang diwariskan dituturkan secara turun menurun dalam bentuk sage, mitos, legenda, dan sebagainya. Karena dalam Sastra melayu terdapat unsur - unsur mitos dan legenda maka sastra melayu dapat dijadikan sumber dalam penulisan sejarah. Namun kita tidak bisa begitu saja menggunakan sastra melayu tersebut sebagai sumber sejarah secara utuh karena kita harus melakukan kritik baik intern maupun eksteren terhadap sumber sejarah tersebut. Tidak semua sastra melayu bisa dijadikan sumber sejarah hanya yang mempunyai unsur mitos sedikit saja yang dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Dengan cara membandingkan antara fakta - fakta dilapangan dengan mitos - mitos yang terdapat dalam sastra melayu. Sastra melayu dapat dikatakan sebagai sejarah melayu karena tidak ada perbedaan yang jauh antara sastra melayu dan sejarah melayu. Dalam mempelajari sastra melayu secara otomatis kita dapat sekaligus mempelajari sejarah melayu.
Dengan demikian dalam penggunaan sastra melayu sebagai sumber sejarah kita harus cermat dalam melakukan kritik sumber, hal ini disebabkan sastra melayu lebih banyak mengandung unsur mitos dan legenda dari pada fakta - fakta yang menjelaskan mengenai rentetan peristiwa. Dalam sastra melayu juga lebih banyak menjelaskan tentang perjajian antara raja dengan rakyat, tentang silsilah raja - raja dan sangat sedikit sastra melayu yang menjelaskan secara detail dari keseluruhan mengenai fakta suatu kejadian yang terjadi pada masa itu.




DAFTAR PUSTAKA
Djohan Hanaviah. Melayu Jawa Citra danBudaya Sejarah Palembang, di Antara Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1995.
Sulastin Sutrisno. Sastra dan Historigrafi Tradisional, Panel Historigrafi Tradisional. Jakarta : Depdikbud. 1983.
Prof. Dr. Sartono Kartodirjo. Fatsal-fatsal Historiografi Tradisional dalam lembaran sejarah No. 2. Yogyakarta : UGM.
Helius Sjamsuddin. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : Depdikbud. 1996.

Babad Tanah Jawa

Babad Tanah Jawa yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam  berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan jaman  Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di  tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami  Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal  mitosnya cukup banyak.
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis. Dan lebih repot lagi, Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi!
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini. Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli beneran karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

Historiografi Tradisional

Ciri-ciri Historiografi Tradisional adalah :
·                Adanya suatu visi historiografi tradisional yaitu raja sentris
Setiap tulisan pujangga  selalu mengangkat hal-hal yang berhubungan dengan raja. (raja biasanya dianggap sebagai titisan dewa)
·                Dari segi misi, unsur-unsur faktual masih ada, disampaikan secara halus.
·               Penyajian dari historiografi tradisional ini lebih menggunakan simbol. Cerita dibuat dengan suatu simbol-simbol saja.
·     Sumber-sumber sejarah tradisional yang mendasari historiografi tradisional cenderung mengabaikan unsur-unsur fakta karena terlalu dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dimiliki masyarakat.
·                Adanya kepercayaan tentang perbuatan magis yang dilakukan tokoh-tokoh tertentu.

Ciri-ciri Historiografi Tradisional di Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan dengan Ciri-ciri Historiografi Tradisional di Asia Tenggara.

Ciri-ciri yang sama :
  1. Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal geneologi, tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
  2. Tekanannya adalah pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama.
  3. Bila karya-karya tersebut bersifat sekuler maka nampak adanya persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks.
  4. Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astrologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab-akibat dan ide kemajuan (progress).

Perbedaan-perbedaan yang pokok :

  1. Agama telah memisahkan agama para sejarawan Indo-Islam dan konteks sosio-ekonomi agama Hindu. Agama juga memisahkan orang-orang Muangthai dan Kamboja dari tradisi historiografi Asia Timur dalam bentuk Vietnamnya. Agama juga memisahkan dunia Melayu-Jawa dari orang Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang Filipina di lain pihak.
  2. Persaingan nasional mempengaruhi karya mengenai bangsa-bangsa yang bertetangga, umpamanya karya-karya orang Birma dan Muangthai.
  3. Perbedaan bahasa di Asia Tenggara sebelum menurunnya bahasa Pali sangat rumit, kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca di luar batas negara-negara itu sendiri.
  4. Kebijaksanaan raja-raja mengenai penulisan sejarah cukup beragam: karya-karya Islam dan Melayu diedarkan di kalangan umum, sedangkan karya-karya orang Muangthai, Birma serta Vietnam hanya untuk kepentingan pihak resmi.



DAFTAR PUSTAKA


Danar Widiyanta., “Diklat Perkembangan Historiografi”. Yogyakarta : 2002
I Gede Widja., “Sejarah lokal suatu Persepektif dalam Pengajaran Sejarah”. Jakarta : Depdikbud 1989

Kedudukan Pujangga di Kerajaan Jawa


Dalam sejarah kraton Jawa dikenal dua istilah penting, yang tidak selalu menjadi subyek perhatian bagi ilmu sejarah dan para pakar sejarah modern. Dua istilah tersebut ialah nujum kraton dan pujangga kraton. Terkadang ahli nujum dan pujangga kraton disamakan, sedangkan menurut sejumlah sumber lisan, dua predikat tersebut dapat dibedakan dan dapat disamakan, hal itu bersifat insidental. Dapat dibedakan karena, pada dasarnya ahli nujum kraton menyandang tugas dan kewajiban yang tidak sama dengan pujangga kraton. Kedudukan ahli nujum kraton jelas berbeda dengan kedudukan pujangga kraton. Seorang ahli nujum kraton, yang antara lain dipercaya sang raja atau sang ratu untuk melakukan deteksi dan memberikan wawasannya mengenai kraton dan kerajaannya, dia juga sudah terlibat ke dalam kesibukan tersendiri. Di situ pun, termasuk memberikan antisipasi terhadap prediksi-prediksi yang diketahui pada masa kini dan masa depan, terutama yang terkait langsung dengan kesejahteraan dan keamanan wilayahnya ketika suatu kraton dan kerajaan mustahil mengisolasi diri dari interaksi dengan kraton dan kerajaan lain.
            Pemeo yang diperkatakan khalayak bahwa, “Sabda pandita ratu” alias seorang raja apabila berbicara tidak dibolak-balik supaya dipercaya rakyatnya dan tidak pudar aura pamornya. Secara tersamar maupun terang-terangan, sebenarnya di situpun sudah melemparkan indikasi konkret : sebelum seorang penguasa tertinggi suatu kerajaan menitahkan sesuatu kepada kawulanya, lebih dahulu dia berkonsultasi dengan staf kepercayaannya, sehingga apa yang dikatakan tidak lagi mengalami pencabutan dan sensor ulang. Dalam proses olah wisdom lisan atau wisdom tulis itulah, ahli nujurn kraton ikut aktif mernberikan pertimbangan.
Dapat disamakan karena, tidak jarang seorang ahli nujum kraton merangkap predikat selaku pujangga kraton. Pujangga kraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak kraton kepada orang yang menggubah karya sastra : pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga kraton memperoleh julukan Empu. Tapi pada zaman Jawa-Islam, pujangga kraton memperoleh julukan Kyai. ltulah sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Tantular, Empu Tanakung, Empu Prapanca. Itulah pula sebabnya, mengapa dikenal nama Kyai Jasadipura dan Kyai Ronggowarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakekatnya menyimpan konvensi yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
            Taktahulah perihal Ronggowarsito, apakah sosok tersebut dapat dikategorikan pujangga yang merangkap ahli nujum kraton atau tidak. Parapenelaah dan pakar sastra Jawa Madya dapat melakukan tinjuan lebih jauh, khususnya pada konteks karya-karya pujangga yang disemayamkan di desa Palar ini dalam hubungannya dengan nujum kraton terhadap zamannya dan zaman selebihnya.
            Jika sampai terjadi anggapan bahwa, seorang pujangga kraton sekaligus ahli nujum kraton, sebenarnya hal itu berasal dari satu-dua perkecualian akan tetapi diterapkan pukul rata. Citra tersebut muncul, rnungkin berkat ketidaktahuan dan mungkin berkat hasrat yang bercorak “exagerasi”, suatu dorongan untuk membesar-besarkan citra dan peran. Hal itu lumrah karena, dalam tradisi budaya komunitas lisan menanggung resiko pengaburan makna dan kabar kabur.
            Belum pernah dalam sejarah sastra Jawa dapat menyaksikan kontras perbandingan dalam kesaksiannya, yang jernih dan bening seperti zaman kini. Selain karya-karya yang sudah berhasil diungkapkan para pakar sastra Jawa Kuna dan Jawa Madya, kedudukan dan peranan para pujangga zaman dulu dan pengarang zaman kini berada pada penampang yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Kesaksian tersebut dapat menunjuk kepada bukti konkret, karya sastra yang menjadi alternatif bagi apresiannya.
            Pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya identik dengan pujangga kraton, yang secara jelas terinci dalam dua zaman. Zaman Renaisan Jawa I antara abad 8 sampai 15, yaitu Jawa Budha dan Jawa Hindu. Zaman itupun dapat berlaku surut, mungkin mulai abad I Masehi tapi sukar mencari fakta konkret. Kemudian zaman Renaisan Jawa II antara abad 16 sampai awal abad 20, yaitu Jawa Islam. Jika zaman keemasan I mencapai 7 abad, zaman keemasan II mencapai 5 abad, tapi belum lagi jelas : bagaimana dengan pengarang sastra Jawa Modern. Pujangga Jawa Kuna dapat disebutkan antara lain: Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Monaguna, Empu Kanwa, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca. Sedangkan pujangga Jawa Madya antara lain: Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam, Jasadipura, Ronggowarsito, Ronggosutrasna, Pakubuwana III, Pakubuwana V, Jasadipura II, Sastranegara, Sastrawiguna, Pakubuwana X.
            Kraton-kraton Jawa Kuna yang menjadi maecenas para pujangga Jawa Kuna antara lain: Kahuripan, Kediri, Singosari, dan Majapahit. Tak pernah lagi tersingkapkan, kecuali menjadi misteri sejarah masa silam ialah, pujangga dan karyanya dan kraton Kalingga, Mataram Kuna, Pengging Witaraja, Pajajaran Pakuhan dan Pejajaran Segaluh, maupun Wanasegara. Tidak lagi terkisahkan, bagaimana dengan pujangga Majapahit yang hijrah ke Bali dan Lombok. Tapi yang jelas, pujangga Jawa Kuna yang tercatat tidak bermukim di Jawa Barat dan Jawa Tengah, melainkan di Jawa Timur. Mungkin eksodus itu menyusuli bencana alam gunung Merapi yang meletus tahun 1030.
            Masa peralihan dari zaman Jawa Kuna ke Jawa Madya tidak pernah jelas. Paling tidak sampai kini, ikhtisar peralihan dari sastra Jawa Kuna ke Jawa Madya belum pernah ditelaah dan dibukukan oleh pakar sastra Jawa Peralihan. Mungkin hanya Serat Gatholoco dan Darmogandul yang digubah oleh pujangga anonim, sebagai perkecualian karena semua pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya secara jelas dan langsung tencantum nama-namanya, dan karya tersebut sangat problematis.
            Di samping itu, dengan Pangeran Karanggayam selaku pujangga kraton Pajang dan Sultan Agung selaku pujangga Serat Sastra Gendhing, mungkin saja dianggap sebagai sosok-sosok yang mengawali pujangga Jawa Madya. Serat Sastra Gendhing itu sendiri, yang diakukan sebagal karya Sultan Agung, sebenarnya sudah mengundang tanda tanya. Dan konteks sejarah kepujanggaan Jawa Kuna, tak pernah terkabar ada raja merangkap pujangga. Sebaliknya, dan klan Mataram Baru terkabar citra raja merangkap pujangga. Bermula Sultan Agung, disusul klan Surakarta dengan Pakubuwana III, IV, dan VI juga X. Di situ sekaligus menampakkan garis perbedaan dalam tradisi kepujanggaan.
            Jawaban atas tradisi klan raja merangkap. pujangga dalam era Jawa Madya selama ini, mungkin diperoleh dari akibat ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang mempersempit wilayah kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga raja-raja Surakarta lebih menekankan pada pengembangan sektor kebudayaan.
            Tapi bagaimana dengan pengarang sastra Jawa Modern? Memang pernah, Suripan Sadi Hutomo menyusun buku Antologi Puisi jawa Modern 1940-1980 dan JJ Ras menyusun Bunga Rampal Sastra jawa Modern. Tapi seandainya saja karya-karya dalam dua buku antologi tersebut dijadikan kartu utama untuk menjawab prestasi dan prestise keberadaan sastra Jawa Modern, sudah tentu bahwa, dugaan terhadap pengarang sastra Jawa Modern belum memperlihatkan pamornya akan dibenarkan banyak pihak. Kebangkitan kembali pengarang Jawa Modern yang memakai wahana ekspresi bahasa Jawa Modern masih butuh waktu lebih lama.
            Parapengarang sastra Jawa Modern tidak berasal dan lingkungan kraton, bukan pula berdarah pujangga kraton, akan tetapi berasal dari wilayah pedesaan Jawa. Sesuai dengan trend zaman, mereka pun bergulat dalam kehidupan dan tantangan kongkret, sehingga predikat yang tersemat di bahunya lebih tepat bila dikatakan pengarang urban. Mereka tidak memakai bahasa Sansekerta, tidak pula bahasa Jawa Kuna atau Jawa Kawi, bahkan huruf yang dipakai untuk menulis pun bukan huruf Jawa melainkan huruf Latin.
            Bahasa ekspresinya adalah bahasa Jawa Modern, atau Jawa ngoko atau Jawa krama, yang dengan deras pula menerima masukan kosakata dari bahasa Indonesia dan Inggris. Orientasi budaya yang ditatap bukan lagi kraton tradisional Jawa, karena di sana sudah tidak menjanjikan apa-apa, melainkan tertuju kepada kehidupan kotayang plural dan egaliter, yang sekuler dan belum tertata dengan baik dan mapan. Mereka tidak mungkin mengharap pembenahan segera terhadap segala infrastruktur budaya dan bahasa Jawa Modern. Pihak lain pun lebih melempar kesan formalitas dan retorika lisan. Karena itu, tantangan pengarang sastra Jawa Modern adalah diri mereka sendiri dan tidak mungkin lagi manja pada hadirnya maecenas sastra Jawa Modern, seperti para pujangga kraton Jawa Kuna dan Jawa Madya pada zamannya. Mereka adalah pengarang kotayang bebas.





 DAFTAR PUSTAKA

Dr. Sadewa, Alex. “Dari Pujangga ke Penulis Jawa”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.1995


Senin, 11 Juli 2016

Sejarah Singkat Sistem Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam

Pengertian Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Adadua tipe birokrasi, modern dan kuno. Birokrasi modern menurut Max Weber, bercirikan: adanya hierarki jabatan-jabatan (atasan dan bawahan yang disusun secara sistematik dengan kedudukan, hak, kewajiban dan tugas yang terurai dengan jelas), membedakan secara tajam antara kanSistetor dan si pemegang jabatan atau urusan pribadi dan urusan jabatan, kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, yang kesemuanya diatur dengan undang-undang. Karena itu, bentuk ideal dari birokrasi adalah sifatnya yang objektif, rasional, netral, dengan mekanisme kerja yang efisien dan efektif. Birokrasi kuno adalah birokrasi yang mempunyai ciri berlawanan dari ciri-ciri tersebut.


       Struktur birokrasi Mataram didasarkan atas konsep perwilayahan negara dengan pusat kraton dan berkembang meluas ke luar, yang kalau digambarkan dapat berupa lingkaran konsentris. Dan dalam secara herturut-turut wilayah Mataram adalah:
  1. Kutagara atau Kutanegara, Negara atau Siti Narawita dengan kraton raja sebagai titik pusat, jadi boleh disebut kraton merupakan pusat sedangkan Kutagara atau Negara adalah lingkaran wilayah yang pertama.
  2. Negara Agung : daerah di sekitar Kutagara, yang masih termasuk inti kerajaan, karena di daerah inilah terdapat daerah tanah lungguh (jabatan) dan para bangsawan yang bertempat tinggal di Kutanegara.
  3.  Mancanagara, daerah di Luar Negara Agung :
3.1  Mancanagara Wetan : Mulai Panaraga ke Timur.
3.2. Mancanagara Kulon : Mulai Purwareja ke Barat.
  1. Daerah Pasisiran:
4.1. Pasisiran Kulon : Demak ke Barat.
4.2. Pasisiran Wetan : Demak ke Timur.
            Untuk mengurusi pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut disusunlah berbagai jabatan dengan berbagai tingkatannya, dan yang tertinggi di pusat sampai yang terendah di daerah. Jabatan itu secara berturut-turut adalah :
1.      Pejabat-pejabat tinggi dalam Kraton dan daerah Kutagara:
            Di dalam kraton: Raja, Ratu-Eyang (nenek raja), Ratu-Ibu (ibu raja), Ratu-Kencana (permaisuri), P. Adipati Anom (putra mahkota). Pemerintahannya diurus oleh 4 orang wedana lebet. Di atas keempat wedana ini dahulu ada jabatan patih lebet. Pada masa Kerta yang menjadi patih lebet Adipati Mandaraka. Pada masa Amangkurat I, Tumenggung Singaranu menjadi patih lebet. Tetapi sejak tahun 1775 jabatan patih lebet dihapuskan. Keempat wedana lebet itu adalah: a. Wedana Gedong Kiwa, b. Wedana Gedong Tengen, c. Wedana Keparak Kiwa, d. Wedana Keparak Tengen. Wedana-wedanna Gedong mengurusi keuangan dan perbendaharaan kraton, sedangWedana-wedana Keparak mengurusi keprajuritan dan pengadilan. Para wedana lebet biasanya bergelar Tumenggung atau Pangeran (kalau masih berkeluarga raja). Sebelum tahun 1628 wedana-wedana lebet Mataram adalah: P. Mandurareja, P. Upasanta (keduanya We,r,dana Keparak), P. Manungoneng, P. Sujanapura (keduanya Wedana Gedong). Tiap-tiap wedana lebet ini dibantu oleh seorang kliwon (pepatih atau lurah carik) yang biasanya bergelar Ngabehi, seorang kebayan (juga bergelar Ngabehi, Rangga atau Raden) dan 40 orang mantri-mantri jajar. Untuk mengurusi daerah kota (Kutanegara) raja menunjuk 2 orang wedana miji (miji = memilih, jadi wedana yang dipilih untuk tugas-tugas tertentu). Wedana-wedana miji ini langsung dibawah perintah raja. Kedudukan wedana miji di zaman modern hampir sama dengan wali kota (sebagai stadholder in the city).
            Dalam masa akhir pemerintahan Sultan Agung salah seorang dari wedana miji adalah Tumenggung Danupaya. Dalam tahun 1661 (zaman Mangku Rat I) Danupaya diganti oleh Wirajaya dalam jabatannya sebagai “stadholder in Mataram”. Sebagai orang kedua adalah Nitinegara. Sebelum itu terkenal pula 2 orang Tumenggung Mataram (tentulah ini Tumenggung-tumenggung Mataram proper = Tumenggung-tumenggung dari wilayah Kutagara = Wedana-wedana miji) yaitu Tumenggung Endranata dan Kyai Demang Yudaprana. Kedudukan kedua wedana miji ini sangat penting sehingga bersama-sama dengan keempat wedana lebet, mereka merupakan anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Tetapi pada zaman Kartasura (1774) pengurusan daerah Narawita diserahkan kepada 4 orang pejabat, seorang di antara mereka diangkat sebagai kepalanya (wedananya).
2.      Pejabat-pejabat di Wilayah Negara Agung
            Wilayah Negara Agung yang masih termasuk daerah pusat dari wilayah kerajaan ini administrasi pemerintahnya dikepalai oleh para wedana jawi. Sebagai pimpinan dan koordinator dan para wedana jawi adalah patih - jawi. Patih jawilah yang bertanggung jawab atas keberesan jalannya pemerintahan di daerah luar Kutagara, termasuk pengurusan masuknya pajak-pajak dan daerah wewenangnya, juga mengumpulkan tenaga-tenaga laskar orang desa bila diperlukan. Parawedana jawi jumlahnya sesuai dengan bagian-bagian dari Negara Agung dan bernama menurut daerah yang menjadi wewenangnya. Dengan demikian maka ada 8 wedana jawi, yaitu : Wedana Bumi (yang menguasai daerah Bumi), Wedana Bumija, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Penumping, Wedana Penekar. Wedana-wedana ini bertempat tinggal di daerah Kutagara, dan masing-masing dibantu oleh seorang kliwon, seorang kebayan, dan 40 orang mantri jajar. Untuk mengurusi secara langsung daerah-daerah di Negara Agung diangkat bupati-bupati dengan pejabat-pejabat bawahannya. Untuk tanah-tanah lungguh dan bangsawan-bangawan kraton yang juga terdapat di lingkungan Negara Agung, biasanya oleh bangsawan yang bersangkutan diwakilkan seorang Demang atau Kyai Lurah untuk mengurusinya.


3.      Pejabat-pejabat di wilayah Mancanagara
            Daerah-daerah di mancanegara baik kulon maupun wetan, masing-masing dikepalai oleh seorang bupati atau lebih (dalam Surat Pustaka Radja Puwara istilahnya juga wedana), yang biasanya berpangkat Tumenggung atau Raden Arya. Jumlah bupati yang mengepalai tiap-tiap daerah tidak sama, tergantung pada luas dan tidaknya daerah itu. Sebagai contoh misalnya: pada zaman Paku Buwana II (Kartasura) Daerah Kediri (dengan tanah cacah 4.000 karya) hanya dikepalai oleh seorang bupati yaitu Tumenggung Katawengan. Sedang daerah Madiun (dengan tanah cacah 16.000 karya) dikepalai oleh 2 orang bupati, yaitu Raden Tumenggung Martalaya dan Raden Arya Suputra (24). Daerah yang tidak luas cukup dikepalai oleh seorang mantri atau seorang kliwon. Para bupati mancanagara tersebut di bawah pengawasan seorang wedana bupati mancanagara. Pada tahun 1677 Mas Tumapel (saudara sepupu Panembahan Mas Giri) yang semula menjabat sebagai bupati Gresik, kemudian diangkat menjadi wedana bupati mancanagara berkedudukan di Jipang (terkenal dengan nama Adipati di Jipang) yang ditugaskan mengepalai dan mengkoordinasikan bupati-bupati mancanagara. Juga di dalam tahun 1709 Tumenggung Surawijaya diangkat menjadi wedana bupati mancanagara wetan.
4.      Pejabat-pejabat di daerah Pasisiran
            Tiap-tiap daerah di pasisiran juga dikepalai oleh seorang bupati atau syahbandar, berpangkat Tumenggung, Kyai Demang atau Kyai Ngabehi. Sebagai contoh misalnya Bupati Pasisiran Jepara ialah Ngabehi Martanata (1657), Bupati Semarang Kyai Ngabehi Wangsareja, Bupati Demak Tumenggung Suranata. Dalam tahun 1618 sebagai Bupati Pasisiran Jepara Ulubalang Kojah (keturunan India), dalam tahun 1631-1636 dijabat oleh Kyai Demang Leksmana. Meskipun bupati-bupati atau syahbandar itu mempunyai kekuasaan memerintah dalam daerah wewenangnya, tetapi mereka tidak lepas dan pengawasan pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kutagara. Fakta-fakta di bawah ini kiranya memperjelas : Pemalang (1622-1623) di bawah yurisdiksi Pangeran Purbaya, yang diwakilkan di situ ialah seorang Kyai Lurah, sebagai stadholder. Pekalongan (1622) di bawah yurisdiksi Pangeran Upasanta. Tegal (1631-1638) tumenggungnya di bawah authority Tumenggung Mataram (wedana miji) Danupaya. Semarang(1631) di bawah Tumenggung Warganaya, yang tunduk kepada Pangeran Kraton Tumenggung Arya Wangsa.
            Di samping jabatan-jabatan tinggi tersebut di atas, dalam tahun 1744 (zaman Kartasura) masih ada jabatan-jabatan yang diberi tugas khusus untuk mengepalai golongan-golongan rakyat tertentu. Jabatan-jabatan itu dipegang oleh 4 orang Tumenggung, yaitu :
1.          Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang.
2.          Tumenggung yang mengepalai 1.000 orang Gowong.
3.          Tumenggung yang mengepalai 1.200 orang Tuwaburu.
4.          Tumenggung yang mengepalai 1.400 orang Kadipaten.
Semua jabatan ini di bawah kekuasaan patih jero (lebet).
5.      Jabatan-jabatan yang lebih rendah:
            Di samping jabatan-jabatan tinggi pemerintahan seperti tersebut di muka masih terdapat jabatan-jabatan tengahan dan rendahan yang jumlahnya sangat besar. Pejabat-pejabat tersebut tidak hanya terbatas pada bidang pemerintahan saja, tetapi juga pada bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kebesaran kraton dan raja. Serat Wadu Adji maupun Serat Radja Kapa-kapa memberikan uraian tentang nama-nama pangkat punggawa raja (abdi dalem) tersebut dengan arti dan tugasnya. Bukanlah maksudnya di sini akan disebut satu per satu jabatan-jabatan itu, tetapi hanya untuk sekedar memberi gambaran . Jabatan-jabatan yang berhubungan dengan pamong praja antara lain : Panewu, Panatus, Paneket, Panalawe, (Penglawe), Panigangjung, Panakikil. Yang berhubungan dengan Keagamaan: Pengulu, Ketib, Modin, Marbot, Naib, Suranata dan sebagainya (mereka sering disebut abdi dalem Pamethakan/Mutihan). Yang berhubungan dengan pengadilan: Jaksa, Mertalutut (tukang menghukum gantung), Singanegara (tukang menghukum dengan senjata tajam). Yang berhubungan dengan keuangan: Pemaosan (yang mengumpulkan pajak tanah), Melandang (yang memungut hasil bumi berupa padi, palawija dan sebagainya untuk disetorkan ke kraton, dan lain-lain). Yang berhubungan dengan perlengkapan: Pandhe (pekerja barangbarang dan besi), Kemas (pekerja barang-barang dan emas), Genjang (pekerja barang-barang selaka), Sarawedi (pekerja intan), Gemblak (pekerja kuningan), Sayang (pekerja tembaga), Gajahmati (pembuat cemeti, barang-barang anyaman, amben dan sebagainya), Gendhing (tukang membuat gamelan), Inggil (tukang merawat gamelan), Blandhong (pencari kayu), Kemit Bumi (tukang membersihkan dalam cepuri dan mengangkut barang-barang), Palingga (tukang membuat batu bata), Wegeg (tukang membuat batu nisan), Marakeh (pembuat gunting), Jlagra (pembuat barang-barang dan batu seperti umpak dan sebagainya), Undhagi (tukang ukir kayu), Gerji (tukang jahit) dan lain-lain.

            Demikianlah macam ragam nama jabatan (abdi dalem) raja, yang masing-masing mempunyai pegawai (orangnya) sendiri-sendiri. Jabatan-jabatan yang seperti itu rupanya makin lama makin bertambah jumlahnya (macamnya), sehingga pada pertengahan abad ke-19 (menurut catatan Pangeran Juru, yaitu Patih Danuredja IV) jumlah tersebut tidak kurang dan 150 macam. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa lingkungan kehidupan para pejabat pertengahan di rumah-rumah para bupati, demang dan sebagainya), adalah bentuk miniatur kehidupan kraton. Mereka mempunyai abdi-abdi pengiring, abdi-abdi kriya dan sebagainya dalam jumlah yang sesuai dengan kedudukannya.